Tahun 1998 hampir berlalu, ketika
saya meninggalkan Cimahi untuk mengadu nasib ke Batam. Seperti kebanyakan orang
yang jauh-jauh datang ke kota ini, tujuan saya adalah untuk mencari pekerjaan.
Saya memang lahir di Cimahi. Tepatnya pada tanggal 9 Oktober 1970 yang lalu.
Meskipun begitu, saya tak ingin
bercerita banyak tentang kehidupan di Cimahi, dahulu. Buat saya itu sudah
menjadi masa lalu. Pernyataan ini jangan diartikan saya hendak melupakan tanah
kelahiran. Sama sekali bukan. Saya hanya ingin fokus memandang kedepan, tak
ingin terbebani dengan terus-menerus melihat kebelakang. Apalagi disini, Batam,
saya menemukan jati diri saya yang sesungguhnya. Memiliki tanggungjawab moral
untuk membangun kota yang telah memberikan penghidupan bagi saya.
Saat MUSNIK PUK SPEE FSPMI PT.
Sanmina
Jika mengenang saat-saat pertama
saya mulai bekerja, saya selalu mengingat satu hal. Ketika itu masa-masa awal
era reformasi. Nyaris semua orang mengalami ‘repotnasi’. Saya tak terkecuali.
Datang ke Batam di bulan Desember
tidak langsung mendapatkan pekerjaan. Baru tiga bulan kemudian, tepatnya
dibulan Februari 1998, saya mendapatkan pekerjaan di PT. Chiyoda Elektronik
Indonesia. Di perusahaan PMA Jepang ini saya mengawali karir sebagai teknisi
hingga kemudian menjadi senior teknisi.
Mei 2004, saya keluar dari Chiyoda,
dan bergabung dengan PT. Sanmina Batam. Sama-sama bergerak dibidang elektronik,
tetapi kali ini PMA Amerika. Di perusahaan ini, posisi pertama saya adalah
sebagai senior teknisi. Saat ini, setelah 9 (sembilan) tahun berlalu, menjadi
assisten engineer pada Departemen Manufakturing Engineering.
Sebagai seorang buruh yang memulai
karir dari bawah, saya paham betul, tak ada kamusnya bagi pekerja untuk berbuat
salah. Sebab kesalahan seringkali berarti kehilangan pekerjaan. Apalagi
mengajukan tuntutan agar perusahaan memperbaiki kondisi kerja dan meningkatkan
kesejahteraan. Anggapan bahwa hanya mereka yang tunduk dan patuh lah yang
disayang majikan, terlalu kuat mempengaruhi benar mereka. Meskipun diupah
murah, tanpa kepastian kerja, banyak dari kaum buruh yang memilih diam. “Yang
penting kerja,” begitu kira-kira mereka berpendapat.
Awal Mula Bersentuhan Dengan Serikat
Pekerja
Hingga akhir tahun 2009, bahkan tak
pernah terfikirkan oleh saya untuk bergabung dengan serikat pekerja. Padahal,
diakhir tahun 2009 itu, beberapa kawan di pabrik tempat saya bekerja sudah
mulai melakukan pertemuan-pertemuan tertutup untuk membentukan PUK. Jangankan
terlibat dalam pembentukan, mengetahuinya pun tidak. Fokus saya adalah kerja
dan kerja.
Entah karena kebetulan, atau memang
karena adanya campur tangan dari Tuhan, disuatu siang pada bulan Januari 2010
saya melihat beberapa kawan pekerja sedang duduk bergerombol di kantin. Saat
itu jam istirahat. Sebuah pemandangan yang sebenarnya sudah tidak aneh lagi,
mengingat sejak dulu kantin adalah tempat favorit bagi kawan-kawan untuk
menghabiskan waktu senggang sebelum kembali bekerja.
Tetapi ada yang berbeda di siang
itu. Tak seperti biasa, saya diajak untuk bergabung dengan mereka dan
mendapatkan banyak cerita jika pertemuan ini adalah untuk membentuk serikat
pekerja.
Barulah saya tahu, sebelum ini,
kawan-kawan sudah 5 kali mengadakan rapat untuk membentuk kepengurusan serikat
pekerja, tetapi selalu berakhir tanpa hasil karena tidak ada yang bersedia
menjadi Ketua. Disaat saya belum sepenuhnya menyadari apa yang sesungguhnya
terjadi, semua yang hadir meminta kepada saya untuk menjabat sebagai Ketua PUK.
Saya kaget.
Sempat juga terfikir, jika
sesungguhnya saya sedang dijerumuskan.
Terus terang, saya tidak memiliki
pengalaman sedikitpun terkait serikat pekerja. Kalaupun saya mengerti serikat,
itu lebih pada pemahaman bahwa menjadi pengurus serikat pekerja, apalagi
menjadi ketua, sama saja dengan mempertaruhkan periuk nasi. Menjadi
‘sasaran tembak’ pertama untuk di PHK.
Saya memang pernah menjadi Ketua
Organisasi saat bekerja di PT. Chiyoda Elektronik Indonesia. Akan tetapi itu
bukan organisasi serikat pekerja, hanya Majelis Taklim tingkat Perusahaan.
Selebihnya adalah menjadi Bendahara Rukun Tetangga RT/RW 005/002 di lingkungan
perumahan tempat tinggal saya, untuk masa bakti 2010 – 2012.
Tetapi jika saya menolak tawaran
kawan-kawan untuk menjadi ketua, niscaya pertemuan demi pertemuan yang sudah
dilakukan sejak tiga bulan yang lalu untuk membentuk serikat pekerja hanya akan
berakhir sia-sia.
Entah mendapatkan kekuatan dari
mana, akhirnya saya menyanggupi permintaan kawan-kawan untuk menjadi ketua
serikat pekerja yang pertama di PT. Sanmina Batam. Pertimbangan saya sederhana.
Bahwa apa yang dikeluhan kawan-kawan mengenai kesejahteraan yang dirasakan
semakin tahun semakin turun, meskipun sudah bekerja keras membanting tulang,
juga saya rasakan. Ada banyak kesamaan diantara kami. Sama-sama merasakan
adanya ketidakadilan. Ini bukan sekedar permasalahan individu. Karena bukan
masalah individu, maka solusinya juga tidak akan terselesaikan oleh individu
itu sendiri. Harus ada upaya bersama untuk menyelesaikan permasalahan yang ada,
dan itu adalah dengan membentuk serikat pekerja. Oleh karenanya saya percaya,
bahwa jika pada satu saat ada permasalahan yang menimpa saya terkait dengan
posisi saya sebagai ketua serikat pekerja, itu juga akan menjadi kesalahan
mereka.
Saya mengambil resiko perjuangan
itu. Apalagi secara pribadi saya juga menyukai tantangan baru. Ketimbang
memikirkan ketakutan-ketakutan, saya lebih menganggap ini justru bagian dari
‘petualangan’ yang menjanjikan banyak pengalaman.
Tetapi saya sadar, resiko menjadi
ketua serikat pekerja baru di sebuah perusahaan jauh lebih besar. Apalagi pada
umumnya, di perusahaan yang manajemennya adalah warga Singapore dan Malaysia,
mendirikan serikat adalah suatu hal yang sangat mereka takuti. Oleh karena itu
mereka pasti akan terus melakukan usaha-usaha untuk menghalangi terbentuknya
serikat.
Meminta Restu Istri
Jika itu terjadi pada serikat yang
baru ini, maka tidak hanya saya yang menanggung sendiri dampaknya. Tetapi juga
akan berimbas kepada keluarga. Apalagi jika perusahaan mencari-cari alasan
untuk melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap diri saya. Akhirnya siang itu
saya meminta ijin kepada kawan-kawan untuk terlebih dahulu memberitahukan
kepada istri saya.
Kepada istri tercinta, saya
sampaikan katakan bahwa mulai sekarang siapkan mental dan finansial
apabila terjadi hal-hal yang dikhawatirkan, misalnya saya dipecat dari
perusahaan. Sesuatu yang banyak terjadi di Indonesia, ketika manajemen
mengetahui mulai adanya pendirian serikat pekerja di perusahaannya.
Pesan saya kepada istri: “Rejeki itu
dari Allah SWT, bukan manajemen yang memberi kita rejeki. Tidak perlu takut
kehilangan pekerjaan kalau itu untuk sebuah perjuangan demi tegaknya keadilan.
Karena Allah SWT pasti akan membantu hambanya yang berikhtiar.
Tibalah hari yang membahagiakan itu.
Tepatnya tanggal 24 Februari 2010, Disnaker Kota Batam mencatat pembentukan PUK
SPEE FSPMI PT. Sanmina. Ini sekaligus menjadi titik awal bagi saya untuk
berkiprah lebih jauh didalam serikat pekerja.
Ternyata anggapan banyak orang jika
bergabung dengan serikat pekerja hanya akan membuat kita ter-PHK hanyalah mitos
belaka. Itu tidak lebih sebagai ketakutan yang dibesar-besarkan. Saya sudah
membuktikan itu. Banyak kawan, juga telah membuktikan itu. Mereka bahkan
berhasil meraih kemuliaan karena menjadi anggota serikat pekerja.
Bukan karena keanggotaan kita dalam
serikat pekerja yang menyebabkan ter-PHK. Tetapi karena ketidakseriusan kita
dalam menggalang kekuatanlah, yang membuat ‘barisan’ kita mudah dihancurkan.
(kascey)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar